Ziarah wali limo menjadi rutinitas masyarakat muslim di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan spiritualitas diri. Sepanjang sejarah Islam di Indonesia, Walisongo menjadi tokoh-tokoh agama yang berpengaruh menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dikatakan dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam, Wali Songo menyebarkan Islam setelah Kerajaan Majapahit runtuh. Ketika dominasi Hindu-Budha di Nusantara telah berakhir, Kerajaan Islam pertama, Kerajaan Demak, mulai berdiri dan Walisongo bergerak menyebarkan ajaran Islam.

Strategi Dakwah Wali Limo

Murujuk buku Atlas Wali Songo (2016) karya Agus Sunyoto, Nagantour akan menarasikan 5/9 dari Walisongo, masyarakat menyebutnya Wali Limo. Setiap Wali memiliki strategi berdakwah yang sangat khas dan beragam menyesuaikan dengan wilayah dan keadaan masyarakat. Strategi tersebut bergerak melalui pendidikan, perdagangan, tradisi, dan seni. Melalui strategi Walisongo, Masyarakat Jawa menerima kedatangan ajaran Islam dan mempelajarinya secara bertahap tanpa paksaan.

1. Sunan Gresik

Ziarah Wali Limo sunan gresik

Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi dikenal juga sebagai Sunan Gresik. Beliau berasal dari Samarkand, Asia Tengah, dan memutuskan bermukim di Gresik untuk menyiarkan ajaran Islam. Tidak ada yang dapat mengetahui dengan pasti mengenai tahun lahir beliau.

Sunan Gresik merupakan ayah dari Sunan Ampel sekaligus kakek dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Silsilah tersebut mengantarkan Sunan Gresik mendapatkan julakan sebagai Ayah dari Walisongo. Beliau juga dianggap sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa. Hingga akhir hayat pada tanggal 12 Rabiul Awal 822 H, 8 April 1419 M, Sunan Gresik berada di Gresik. Beliau dimakamkan di desa Gapura kota Gresik.

Strategi Sunan Giri dimulai dengan berdakwah melalui perdagangan. Tidak hanya handal berdagang, beliau juga mendekatkan diri dengan mengajarkan cara bercocok tanam pada masyarakat kelas bawah. Strateginya tidak berhenti, Sunan Giri semakin menanamkan akar ajaran Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pesantren dan surau.

2. Sunan Ampel

Raden Muhammad Ali Rahmatullah dikenal juga Raden Rahmat adalah nama asli dari Sunan Ampel. Beliau lahir di Kerajaan Champa, Kerajaan Islam kuno di Vietnam. Sunan Ampel merupakan cucu Raja Champa dari Ibunya Dewi Chandra Wulan yang menikah dengan Ayahnya bernama Ibrahim As-Samarkanda (Sunan Gresik). Sunan Ampel juga masih memiliki hubungan keluarga dengan istri Prabu Brawijaya, yakni bibinya. Kelak, ia akan memiliki putra Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) dan Syarifuddin (Sunan Drajat).

Beliau menyebarkan ajaran Islam menggunakan ajaran “Moh Limo”. Ia terdiri dari Moh Main (tidak berjudi), Moh Ngombe (tidak mabuk), Moh Maling (tidak mencuri), Moh Madat (tidak candu pada obat-obatan), dan Moh Madon (tidak berzina). Selain itu, Sunan Ampel mendapatkan hadiah dari Raja Majapahit, sebuah daerah rawa Bernama Ampel Denta. Di daerah tersebut, beliau mendirikan pesantren Ampel Denta dekat dengan Surabaya. Keberadaan pesantren tersebut semakin mengakarkan ajaran Islam di Surabaya.

3. Sunan Bonang

Syekh Maulana Makdum Ibrahim dikenal juga dengan panggilan Sunan Bonang lahir pada tahun 1465 M. Beliau adalah putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati. Sunan Bonang dikenal sebagai ahli Ilmu Kalam dan Ilmu Tauhid. Setelah Maulana Makdum Ibrahim belajar di Pasai, beliau mendirikan pesantren di Tuban.

Sunan Bonang menyebarkan ajaran Islam melalui seni perwayangan dan permainan gamelan (tembang). Beliau menciptakan gending-gending dengan nilai-nilai keislaman. Pada setiap bait lagunya, ia berikan dua kalimat syahadat. Sunan Bonang juga menggunakan gamelan untuk memainkan lagu Tombo Ati dan Wijil. Tidak jarang, Sunan Bonang memasukkan rebab dan bonang sebagai pelengkap untuk menambahkan unsur Islami dalam lagunya. Selain itu, Sunan Bonan berdakwah dengan mengubah nama-nama dewa menjadi nama-nama malaikat. Strategi tersebut dilakukan sebagai ruang persuasi pada penganut ajaran Hindu-Budha.

Pada tahun 1525 M, Sunan Bonang wafat. Makam beliau berada di dua daerah: Pertama, di sebelah barat Masjid Agung Tuban. Kedua, berada di Pulau Bawean. Makam Sunan Bonang yang berada di Tuban menampakkan tiga gapura bergaya Hindu-Budha.

4. Sunan Drajat

ziarah wali limo sunan drajat

oppo_0

Raden Syarifudin atau Raden Qasim juga dikenal sebagai Sunan Drajat. Beliau putra bungsu dari Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila, sekaligus adik Sunan Bonang. Sunan Drajat memiliki banyak panggilan, yakni Raden Imam, Suan Mahmud, Sunan Muryapada, dan Maulana Hasyim. Kemudian, Raden Patah, Kerajaan Demak, memberikannya gelar Sunan Mayang Madu.

Sunan Drajat menggunakan strategi dakwah melalui kesenian: suluk dan tembang pangkur. Selain itu, beliau juga memiliki ajaran Catur Piwulang yang berisi ajakan untuk berbuah baik pada sesama. Beliau menekankan pada gerakan sosial. Oleh sebab itu, Sunan Drajat menjadi pelopor penyantunan anak yatim dan orang-orang sakit. Sunan Drajat juga mengajarkan teknik membuat rumah dan tandu pada masyarakat. Sunan Drajat membangun daerah di dalam hutan belantara, dan menjadikannya daerah yang berkembang, subur, dan makmur. Daerah tersebut diberi nama Drajat.

Tahun 1552 M, Sunan Drajat wafat. Beliau dimakamkan di desa Drajat, Lamongan, Jawa Timur. Makam utama Sunan Drajat berada di dalam cungkup dengan ukiran relief pada dindingnya. Terdapat pula Museum Sunan Drajat yang menyimpan gamelan kuno serta alat musik tradisional milik Sunan Drajat.

5. Sunan Giri

ziarah wali limo sunan giri

Muhammad Ainul Yaqin juga dikenal Sunan Giri lahir pada tahun 1442. Beliau juga memiliki banyak panggilan, yakni Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, dan Joko Samudro. Sunan Giri merupakan putra mubaligh asal Asia Tengah, Maulana Ishaq. Sedangkan, ibunya adalah Dewi Sekardadu putri Menak Sembuyu, penguasa wilayah Balambangan di ujung Kerajaan Majapahit. Sunan Giri juga memiliki hubungan keluarga dengan Sunan Ampel, yakni sebagai sepupu.

Sunan Giri menyebarkan ajaran Islam juga melalui kesenian yakni tembang Macapat, seperti Pucung dan Asmarandana, serta permainan anal-anak seperti lir-ilir dan cublak-cublak suweng. Pada tahun 1481, Sunan Giri wafat. Beliau dimakamkan di ketinggian 120 meter di atas permukaan laut. Kompleks pemakaman Sunan Giri masih mempertahankan gaya bangunan Kerajaan Astana Giri Kedaton.

Para wisatawan religi dapat mengunjungi Wali Limo dengan menggunakan jasa penyewaan bus, mobil, atau elf yang disediakan oleh Nagantour. Penyewaan transportasi yang tersedia di Nagantour telah mendapatkan surat perizinan dari Menteri Perhubungan. Dengan begitu, wisatawan religi dapat merasa aman dan tenang ketika berziarah menuju Wali Limo.

Rate this post